Never Ending Stories

“Sudah setahun saya tidak gereja Mo..” kata Lady di balik bilik papan pengakuan dosa.

“Kenapa ?”, tanya Pastur.

            “Ehm… Diputusin Mo.”, jawab Lady.

“Cuman begitu aja kok sampe nggak gereja ?”, tanya Pastur
penasaran.

“Romo kalo jadi saya mungkin udah bunuh diri kali. Untung masih ada kakak dan ibu saya yang peduli, kalo nggak,
mungkin saya udah enak-enak di alam sana.”, jawab Lady agak kesal.

“Ya wess toh, Romo minta maaf. Gimana ceritanya, kok gara-gara
mantan cowokmu, kamu jadi nggak gereja ?” bujuk Pastur. Mulailah Lady
menceritakan kisah cintanya dua tahun yang lalu.

 

* * *

 

“Salam damai, salam damai, salam… salam.”, nyanyi orang-orang di dalam
kapel sambil berjabatan tangan. Tak terkecuali Ben yang tersipu-sipu ketika
bersalaman dengan Lady. Kapel di kawasan Cilandak inilah yang menjadi tempat
pertemuan Ben dengan wanita idamannya.

“Wah untung banget aku duduk di sini, pas di belakang cewek, cantik
lagi.”, kata Ben dalam hati. Malam itu, sejak misa berlangsung, Ben yang
biasanya khusuk berdoa tidak bisa berkonsentrasi, dia selalu melihat ke arah
Lady yang juga sebentar-sebentar melirik ke arahnya.

“Aduuh, maap ya Tuhan, bukannya nggak mau berdoa tapi ciptaanMu
yang di depanku ini lho, cantik banget ! Ya udah deh aku tutup mata aja biar
bisa konsen dikit.”, kata Ben dalam doanya.

 

Setelah misa selesai, Ben buru-buru menuju ke angkot yang sedang ngetem
di jalan depan gereja. “Duh, bentar lagi Sinchan nih, ayo
dong bang cepetan berangkat !”, cemas
Ben dalam hati. Ben tak sengaja melihat Lady sedang menaiki angkot di depannya
yang lain jurusan.

“Ahh, coba dia naik angkot yang ini.”, harap Ben sambil menggaruk-garuk
kepalanya. Tak sampai semenit Lady turun lagi dari angkotnya dan menuju angkot
yang dinaiki Ben.

“Ini ke Pondok Labu ya Bang ?”, tanya Lady ragu-ragu pada supir angkot.
Tiba-tiba Ben dengan semangat menyelak sebelum si sopir sempat menjawab,

“Iya, iya! Ini lewat Pondok Labu kok !”. Lady lalu naik dan angkot
langsung berangkat.

“Wah.. doa gue terkabul. Makasih ya Tuhan. Tuhan tau aja mau gue.”. kata
Ben dalam hati sambil senyum-senyum sendiri.

 

Dengan sok pede, Ben bertanya sama Lady , “Kamu orang baru ya ?”.

“Iya nih, baru seminggu di sini.”, jawab Lady sambil memegang Puji
Syukurnya.

“Rumah lu di mana?”, tanya Ben lagi.

“Pas di belakang SMA 34, tapi masuknya lewat perempatan yang mau ke
Gandul.”, jawab Lady. “Gue turun sini
ya.”, kata Lady yang bersiap mau turun dari angkot.

“Eh, gue juga turun di sini.
Kebetulan gue mau ke rumah sodara, ada titipan dari nyokap buat
mereka.”, kata Ben agak tergesa-gesa.

“Hehehe… boong dikit gak apa-apa deh … Yang penting gue mesti tau
rumahnya.”, kata Ben dalam hati.

“Rumah sodara lu di mana ?”, tanya
Lady.

“Ehmm.. satu kompleks kok ama rumah lu.”, jawab Ben. “Gue sekalian
nganter elu sampe rumah ya,

kan

udah malem,
apalagi elu

kan

cewek, nggak baek jalan malem-malem sendirian.”, kata Ben menawarkan.

“Nggak apa-apa nih ?” jawab Lady
malu-malu.

“Oh, gak papa kok, gue

kan

sekalian ke rumah sodara.”, kata Ben sambil tersenyum lega.

Setelah Hari Minggu yang mengesankan itu, mereka sering pergi gereja bareng.
Tak hanya itu, Ben yang memang aktif di dalam seksi kepemudaan gereja, juga
sering mengajak pergi bareng Lady ke acara-acara rohani.

Sudah dua bulan berlalu sejak pertama kali Ben dan Lady bertemu. Akhirnya
Ben memberanikan diri menembak Lady. Dalam perjalanan pulang mereka dari
KRK (Kebangkitan Rohani Katolik), Ben yang biasanya bocor menjadi
sedikit pendiam dan terlihat gugup. “Waduh nanti gue mesti ngomong kayak
giamana ya… Nervous nih.”, kata
Ben dalam hati. Sesampainya mereka di rumah Lady, mereka berdua duduk di teras
depan diterangi cahaya lampu taman dan sinar rembulan. “Led, menurut lu, gue
orangnya gimana sih ?”, tanya Ben dengan gugup.

“Lu orangnya baek, terus terang sebelum gue pindah ke sini, gue
jarang ke gereja, paling sebulan cuman dua kali. Gara-gara elu sering ngajak
gue ikut kegiatan rohani, gue jadi ngerasain pentingnya ke gereja.”,
jawab Lady sambil tersenyum.

“Bukannya aji mumpung sih gue ngajak elu, tapi gue udah ngerasa
elu tuh jarang ke gereja, jadi gue ngerasa perlu aja ngajak lu ikut
kegiatan rohani, biar elu ke gereja bukan karena keharusan tapi karena
kerinduan.”, kata Ben sok nasehatin. “Bukannya aji mumpung juga,
gue jadi suka ama elu, Led”, kata Ben menurunkan volume suaranya. “Gue jarang
suka ama cewek, dan selama ini gue nggak pernah jadian ama cewek yang
seiman. Ehmm…Lady… Elu… mau jadi cewek gue nggak ?”, katanya sambil menatap
mata Lady. Lady hanya terpaku, agak kaget mendengar pertanyaan maut setiap
laki-laki di dunia ini yang ingin menawarkan cintanya.

“Iya…”, jawab Lady malu-malu.

“Haaa… yang bener ?”, jawab Ben tak percaya mendengar tawaran cintanya
diterima. Lady mengangguk sambil tersenyum simpul. “Uhhuuyy… asyik !”, teriak
Ben.

“Woy ! Berisik ! Nggak tau apa udah malem!”, teriak satpam kompleks yang
kebetulan lewat.

“Maap pak, saya lagi in the hoy nih..” jawab Ben sambil cekikikan.
Malam itu menjadi sangat indah bagi mereka. Suara hati mereka pun sama,
berharap malam ini tak pernah berakhir.

Hari demi hari, bulan demi bulan mereka jalani. Masih tetap dengan format
yang sama, pergi bareng ke gereja dan ke acara-acara rohani.

 

Sampai pada Hari Minggu di mana gereja merayakan Hari Santa Theresia
dari Kanak-kanak Yesus, pelindung biarawan-biarawati, Ben merayakan misa
sendirian. Sore itu, di dalam misa, pastur berkhotbah sambil bercerita tentang
panggilannya menjadi biarawan. Sepanjang pastur berkhotbah, Ben melamun,
mengenang masa kecilnya. “Dulu, kalo gue ditanya ‘cita-cita gue apa’, gue pasti
jawab ‘mau jadi pastur’. Tapi itu dulu banget, waktu gue masih SD.”, kenangnya.

“Sekarang gue udah punya cewek… seiman lagi ! Masa gue jadi pastur
sih..”, pikir Ben sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Tibalah saat konsekrasi di mana hosti
yang dipercaya sebagai tubuh Kristus, diangkat dan ditaruh dalam piala. Lalu
semua umat menunduk menyembah, tak terkecuali Ben. Tak lama, Ben merasakan
adanya keanehan dalam hatinya. Sayup-sayup dia mendengar ada suara yang
memanggil, suara itu berasal dari dalam hatinya.

“Ben… Ben….”,
suara itu memanggil sendu. Ben berusaha konsen berdoa dan tidak memperdulikan
suara itu. Tapi suara itu malah makin terdengar jelas dari hatinya . Akhirnya
Ben menghentikan doanya sebentar dan mulai memperhatikan suara itu.

“Ben… Ben…
kau masih ingat akan cita-citamu dulu ?”, suara itu menanyakan Ben
dengan lembut.

Ben sangat kaget mendengarnya dan mulai kelihatan
resah. Telapak tangannya berkeringat dan napasnya pun tak teratur. Dia mulai
teringat sewaktu kecilnya,. setelah selesai misa, Ben pasti menyempatkan diri
untuk menyalami pastur dan minta berkat serta berkata, “Romo, aku juga ingin
jadi pastur lho. Romo doain saya ya..”.

Suara itu pun semakin keras memanggil, “Ben… ternyata kau masih ingat cita-citamu dulu.”

Ben sengaja menahan tangisnya selama misa
berlangsung. Setelah tak ada orang lagi, tersungkurlah dia di depan patung Bunda Maria. Mukanya yang merah
karena menahan nangis mulai dibasahi oleh air mata. Ben terus menunduk, tak
berani melihat sosok Bunda Maria yang ada di depannya. Dengan terisak-isak,
dia berdoa dalam hati, “Kenapa Kau panggil aku Tuhan ? Banyak orang yang lebih
baik, banyak orang yang lebih pantas. Tapi kenapa aku yang kau panggil ?”.

Dia lalu mendengar suara itu lagi dalam hatinya.
Kali ini suara itu terdengar lebih syahdu dan lembut, “Kaulah anakKu yang Kukasihi…. Sebab Akulah yan membentuk buah
pinggangmu dan menenun kamu dalam kandugan ibumu”.

Tergugahlah hati Ben. Pelan-pelan, diangkatnya
kepalanya dan mulai melihat terangnya cahaya lilin. Perasaan Ben yang tadinya
resah berubah menjadi damai. Kepalan tangannya pun dibuka dan mulai tergambar
seberkas senyum di raut wajahnya. Hatinya sangat lega mendengar suara yang
terakhir tadi. Lalu Ben berdoa dengan tangan menengadah ke atas, “Tuhan…
kuserahkan semuanya kepadaMu. Berilah aku kekuatan untuk menjalankan
panggilanMu.”

Keseekon harinya, Ben pergi kuliah naik angkot. Di
dalam angkot, dia masih merenungkan kejadian tadi malam. Begitu pula sewaktu di
dalam kelas, Ben tak henti-hentinya merenungi ‘panggilannya’.

Begitu keluar dari gerbang kampus, tiba-tiba Ben
dikejutkan oleh suara yang sudah sangat dikenalnya.

“Surprise !”, teriak Lady. “Aku sengaja ngejemput
kamu, kita nomat yuk.”, katanya sambil menarik Ben ke dalam mobil
Kijangnya. Ben hanya bisa cengo, pasrah ketika tangannya ditarik oleh
ceweknya. “Kamu kok dari tadi diem aja sih Ben ?”, tanya Lady.

“Tau nih, lagi nggak enak badan aja”, jawab Ben dingin. Lady merasa ada yang
tidak beres dalam diri Ben.

“Kamu hari ini lain banget deh. Nggak biasanya kamu
begini.

Ada

apa
siiih.. Cerita dong sama aku.”, bujuknya.

“Nggak… aku nggak apa-apa kok.”, jawab Ben yang masih teringat akan suara di dalam
hatinya. Ben mulai berpikir, mencari alasan supaya dia tidak pergi dengan
Lady. “Sorry ya Led, aku kayaknya nggak bisa nonton deh hari ini. Badanku lagi
nggak enak, nggak tahan dingin, sekarang lagi di mobil aja – gue udah
kedinginan, apalagi kalo di dalem twenty one, bisa menggigil.”, kata Ben
dengan suara yang diserak-serakin.

“Tapi hari ini

kan

hari jadi kita yang setahun. Masa’ kamu
lupa.”, kata lady emosi.

“Iya tahu ! Tapi hari ini aku

kan

lagi sakit, masa’ kamu tega ngeliat aku
tambah parah sih.”, jawab Ben sambil menahan emosinya.

Lady lalu menghempaskan badannya. Sambil cemberut
Lady menggerutu, “Ya udah ! Terserah”. Ben yang nggak tegaan melihat ceweknya
ngambek berusaha mencari alasan lagi agar Lady nggak mewek lagi.

“Gini aja. Aku besok mau beli kado buat hari jadi
kita yang setaun, trus kita ketemuan di rumah aku.. ok ?”, bujuk Ben.

“Bener ya… Awas kalo nggak jadi lagi !”, jawab Lady
sambil menarik-narik tangan Ben.

“Iya… iya… Jam tiga aja ya ketemuannya di rumah
aku.”, kata Ben menurunkan nada suaranya.

Besoknya, Lady yang terkenal nggak pernah pakai you
can see atau tank top, sengaja memakai baju agak seksi dan cardigans
supaya keliatan sopan di depan calon mertuanya. “Kira-kira apa ya kadonya
?”, pikir Lady sambil berjalan menuju mobilnya.

Lima

belas menit kemudian sampailah Lady di rumah Ben. Setelah mengaca sebentar dan
merapikan cardigans-nya Lady lalu turun dari mobil dan memencet bel.
Ibunya Ben segera keluar dari pintu, dengan tergesa-gesa menuju ke pagar.
“Ben-nya ada Bu ?”, tanya Lady.

Ibunya Ben terdiam sebentar, “Hmmm… kamu duduk dulu
ya, ibu ke dalam sebentar.”, jawabnya sambil terburu-buru masuk pintu. Tak lama kemudian, ibunya Ben keluar dan
menyerahkan sesuatu kepada Lady. “Maaf ya nak Lady, Ben cuma nitipin ini.
Trus Ben juga bilang kalo dia nggak bisa pergi hari ini.”, kata ibunya
Ben.Lady terdiam, tak bisa berkata apa-apa. Matanya mulai berkaca-kaca.
Perlahan-lahan dibukanya amplop dari Ben.

 

Dear Lady,

 

Aku nggak tau harus ngomong apa sama kamu. Selama ini kamu udah baik
banget sama aku, udah ngertiin aku. Kita juga udah ngelewatin masa-masa indah
dan kita juga udah banyak curhat.

 

Tapi satu yang belum pernah aku ceritain ke kamu, tentang ‘panggilan’
aku. Sekarang aku mulai mencari seminari yang cocok buat aku. Aku yakin pasti
kamu ketemu cowok yang lebih baik dan lebih pengertian dari aku.

 

Aku tahu kamu pasti marah, tapi aku nggak bisa ninggalin panggilan ini.

 

Maafin aku ya…

 

Ben

Comments on: "Sainganmu Bukan Wanita Lain" (3)

  1. hehehehehe, siapapun yg nulis cerita ini…lucu banget, sekaligus menarik…tapi…agak bingung…nama cewek di cerita kedua itu sapa sih? awalnya Lady kok ujug2 berubah jadi Lidya? wkwkwkwkwk…lady lidya???

    hihihihi…semua kok cerita ttg gereja yg jadi ajang mejeng, tepe2 (tebar pesona) yak, wkwkwkwkwk…tapi bagus bagus, hehehe. GBU

  2. Waa.. bener.. ada salah tulis nama.. hehehe..

    ketauan deh kalo misa gak konsen.. hehehe..

    msh byk kekurangan sih,maklum lah cerpen pertama

    thanks udah comment.. 🙂

  3. kenapa ngga coba dikirim ke media, majalah, koran…or something like that, hehehe, lumayan bisa menghasilkan tambahan pendapatan lho,hehe

Leave a comment